0
Inspirasi Guru From Kick Andy Heroes

FAUZANAH (64 TAHUN)

Pensiunan Guru yang Terus Mengabdikan Diri Menjadi Guru Matematika

Biasanya Puskesmas diperuntukkan bagi orang sakit. Namun bagi Fauzanah, Puskesmas juga dapat digunakan untuk anak-anak yang kesulitan matematika. Siapa  tak  bisa matematika, maka ia sakit, demikian vonisnya. “Mereka kan sakit, jadi harus ke puskesmas agar sehat,” ujarnya. Fauzanah pun kemudian mendirikan puskesmas matematika di Dusun Ngempon Lor Kelurahan Parakan Wetan Kecamatan Parakan,  Temanggung, Jawa Tengah. Tidak  main-main, mereka yang keluar dari puskesmas matematika ini bahkan menjadi  juara olimpiade matematika.


Di masa pensiunnya, wanita yang akrab disapa Bu Yan ini masih terus mengabdikan dirinya untuk membuat banyak anak bangsa pintar matematika. Pihak SMP tempat  ia  mengajar dulu, memintanya  kembali  untuk aktif  mengajar dan hingga sekarang, Bu Yan berprofesi  menjadi guru diusia senjanya. Setiap harinya bahkan ia masih memberikan kursus (les) bagi anak didiknya, yang  terdiri dari kalangan SD, SMP dan SMA di rumahnya yang kecil dan berdinding papan.



Seperti layaknya puskesmas dan rumah  sakit kebanyakan, Bu Yan memberlakukan rawat jalan atau berobat jalan serta rawat inap. Setiap  hari puluhan  anak akan terlihat bergantian memadati ruangan sekitar 4x5 meter. Rumah  berdinding papan itu sebenarnya adalah  rumah  kontrakan, tempat Ibu Yan tinggal setiap hari. Les dimulai saat Ibu Yan pulang mengajar di sekolah dan berakhir  malam hari sekitar pukul 20.00 WIB. Sementara hari Minggu, ruang les penuh mulai dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 21.00 WIB.



Bu Yan memberikan les ini secara gratis. Sebagian murid  yang merasa mampu  membayar  biaya les , boleh membayar sebesar  Rp. 50 ribu  per bulan. Meski  bukan dari golongan berada, terbukti Bu Yan mampu memperjuangkan anak-anak  putus sekolah. Setiap periode, anak-anak yang datang ke Puskesmasnya silih berganti. Mereka datang dari pelosok desa yang tersebar di wilayah Kabupaten  Temanggung. Ada dari Tuksari, Nggorukem, Bokol, Ngadirejo, Jumo, Temanggung,  dan sekitar Parakan.



Sudah tidak terhitung jumlah anak yang telah diselamatkannya melalui Puskesmas  Matematika. Saat ini saja Bu Yan menjadi orang tua asuh bagi 17 anak. Mereka adalah  anak-anak dari keluarga yang tidak mampu dan nyaris putus sekolah. Dari  puskesmas sederhana yang dikelolanya, Bu Yan tidak hanya mengajarkan anak-anak berhitung dan pintar matematika, tetapi ia juga telah mengkalkulasi untuk  menyelamatkan kehidupan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa ini.


NENG SULASTRI (24 TAHUN)

Guru di Penjara Anak

Panggilan jiwa rupanya menjadi alasan bagi Sulastri untuk bersedia menjadi guru di Sekolah Lembaga Pemasyarakatan Anak (LP Anak) Tangerang. Sulastri mengajar di LP Anak Tangerang sejak tahun 2008. Saat itu ia sedang melakukan Kuliah Kerja Profesi di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Di dalam penjara, ia banyak menghadapi anak-anak yang memiliki masa lalu yang menyedihkan sehingga ia lebih banyak mendengarkan curahan hati anak, memberikan banyak konseling dan juga bimbingan psikologis.

Saat lulus dari jurusan Pendidikan Umum tahun 2009, Sulastri pun merasa terpanggil dan langsung mendaftarkan diri menjadi guru relawan penuh. Saat mengutarakan niat untuk mengajar di LP anak, kedua orang tua Sulastri sempat kaget dan mempertanyakan kenapa dirinya mau mengajar di LP.



Sulastri mengakui bahwa mengajar di LP Anak memang membutuhkan keahlian khusus karena ia dituntut harus lebih sabar, banyak memberikan bimbingan dan saran-saran yang baik agar anak didiknya dapat memperbaiki hidup mereka. Memang terkadang Sulastri yang masih berjiwa muda merasa belum cukup sabar menghadapi mereka. Sulastri juga pernah mengalami kejenuhan dalam mengajar, sempat dalam 3 bulan ia hanya masuk sekali dalam seminggu. Namun ia kembali bersemangat berkat motivasi dari para siswa sekolah LP dan juga staf LP Anak Tangerang. Saat ini jumlah siswa yang diajar oleh Sulastri sebanyak 22 orang siswa SMP dan 21 orang siswa SMA.



Metode yang diajarkan di sekolah LP Anak berbeda dengan metode yang diajarkan di sekolah umum. Di LP Anak mereka lebih menekankan pembangunan mental, spiritual dan akhlak anak. Di LP Anak ini, Sulastri dipanggil guru istimewa oleh para murid.  Pada Tanggal 10 Juli 2010, murid-murid Sulastri memberikan kejutan kepada dirinya dengan merayakan ulang tahunnya bersama mereka di penjara.



Harapan Sulastri sederhana, ia hanya ingin agar anak didiknya dapat kembali menjadi anak yang normal dan tidak melakukan kesalahan lagi sehingga harus masuk penjara kembali. Apa yang ia berikan semoga dapat digunakan di luar penjara sehingga mereka mereka lebih positif dalam menjalani hidup.


DR. IRINA AMONG PRADJA (53 TAHUN)

Dokter Yang Beralih Profesi Sebagai Pendidik

Beralih profesi dari dokter menjadi seorang tenaga pengajar, itulah yang menjadi pilihan hidup dokter Irina atau yang lebih akrab disapa Ina. Ia lulus pendidikan dokter tahun 1984, kemudian mengikuti program inpres di Timor-Timur selama 5 tahun. Selesai bertugas, ia kembali ke Jakarta dan bekerja di rumah sakit. Ia menekuni profesinya sebagai dokter sampai berusia 40 tahun. Kemudian Ina memilih untuk meninggalkan profesinya sebagai dokter dan beralih menjadi tenaga pengajar. Ina kemudian mendedikasikan hidupnya di dunia pendidikan dan mendirikan “Sekolah Kami.”



Awalnya, Ina diajak oleh salah seorang temannya ke daerah penampuangan transmigran di daerah Pondok Kelapa, Jakarta Timur pada tahun 2001. Sejak itulah, ia tergerak untuk membantu pendidikan anak-anak transmigran. Dengan keterbatasan yang ada, Ina bersama teman-temannya kemudian mendirikan sekolah  yang bersifat non-formal dengan menggunakan fasilitas 2 buah barak di penampungan tersebut. Tenaga pengajarnya adalah para sukarelawan dengan materi yang mereka sesuaikan dengan masing-masing tingkatan sesuai dengan kurikulum dari pemerintah.



Selama 3 tahun, mereka bertahan dengan kondisi ini. Bahkan anak-anak disekitar barak yang tidak mampu bersekolah formal juga ikut bergabung dan belajar di sekolah ini, hingga jumlah muridnya mencapai 120 orang dengan rentang usia 5 sampai 15 tahun. Diantara murid-murid tersebut ada anak tukang ojek, pedagang asongan, penjual bakso keliling, penjual ayam, sopir angkot, anak para pembantu rumah tangga dan anak-anak pemulung. Mereka semua tidak dipungut bayaran apapun, dan mereka juga tidak diwajibkan memakai seragam ataupun sepatu.



Pada tahun 2007 mereka menempati lokasi di daerah Bintara, Bekasi Barat. Lokasi yang mereka tempati sekarang adalah sebidang tanah yang mereka sewa di sekitar lapak-lapak pemulung, diatas lahan yang luasnya sekitar 500 M. Sebelumnya lahan yang mereka tempati sekarang  merupakan tempat sampah warga sekitar. Sekolah ini tidak berbadan hukum dan dikelola secara kekeluargaan & gotong royong karena bersifat independen.

Saat ini “Sekolah Kami” memiliki 9 orang guru dan lebih kurang 120 murid yang terdiri dari murid kelas 1 s/d 6 SD. Diantara para alumni di sekolah ini ada yang sudah berhasil membuka lapangan pekerjaan sendiri. Diantaranya ada sekitar 5 orang yang membuka bengkel, 2 orang yang memiliki las besi tempa dan 14 orang menjadi penjahit. ”Belajar peduli pada orang lain terutama pada mereka yang membutuhkan itu memang tidak mudah. Padahal kan didalam harta kita ada 2.5% hak mereka kurang mampu. Sepertinya kita perlu sekali kali pakai bahasa hati untuk bisa mengerti arti sebuah makna.” tegas Ina.


BUYUNG THALIB AMA (43 TAHUN)

Guru Tuna Netra Yang Mendedikasikan Dirinya Untuk Pendidikan


Sejak umur tiga bulan, Buyung sudah mengalami cacat mata (mata sebelah kanan buta total dan mata sebelah kiri rabun). Kebutaan Buyung terjadi akibat ia mengalami panas tinggi yang berujung kebutaan. Sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Buyung telah bercita-cita menjadi seorang guru. Setamat SMP tahun 1984, Buyung mendaftar ke SPG tetapi ditolak karena matanya buta. Setamat SMA tahun 1988, Buyung mencoba lagi mendaftar ke sekolah keguruan, tetapi ia kembali tidak diterima dengan alasan yang sama yaitu cacat fisik.



Tahun 1990, ia hijrah ke Jakarta dan mencoba melamar menjadi guru honorer. Namun tidak satupun sekolah menerima dengan alasan yang sama. Sekolah-sekolah tersebut tidak menerima Buyung karena buta. Akhirnya Buyung menjadi guru panggilan sambil bekerja di salah satu pabrik mesin di Tangerang selama lebih kurang 5 tahun. Berbekal uang tabungan dari hasil mengajar sebagai guru panggilan itulah, akhirnya Buyung mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK) Arafah.



Di awal berdirinya TK Arafah, mereka hanya memiliki 14 orang murid dengan latar belakang keluarga dari ekonomi lemah. Orang tua murid pun kebanyakan berprofesi sebagai buruh pabrik. Tahun 2007, atas dukungan almarhum istrinya, Wartini, Buyung juga mendirikan Sekolah Dasar (SD). Untuk merealisasikan impiannya itu, Buyung rela menjual rumahnya seharga 42 juta dan kemudian membeli tanah seharga 68 juta. Buyung pun harus meminjam uang untuk menutupi kekurangannya agar ia bisa membeli tanah tersebut.



Di awal berdirinya, SD Plus Bina Nusa hanya memiliki 28 orang murid dengan latar belakang ekonomi lemah. Namun, perjuangan Buyung pun kemudian mulai membuahkan hasil. Pada tahun 2009, SD yang didirikannya mendapatkan izin dari Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang namun belum mendapatkan akreditasi.



Saat ini jumlah guru yang mengajar di tempatnya ada sekitar 22 orang untuk TK dan SD. Guru-guru tersebut mendapat gaji sebesar Rp. 500.000 yang berasal dari hasil iuran murid-muridnya. Para murid membayar iuran sebesar Rp. 45.000/bulan untuk TK dan Rp. 55.000/bulan untuk SD. Namun, ada 30 orang diantara mereka dibebaskan dari biaya sekolah karena orang tua mereka tidak mampu membayar. Untuk membiayai kekurangan biaya operasional sekolah, Buyung bahkan berutang kepada rekan-rekannya.



Kini cita-cita Buyung untuk menjadi guru sudah tercapai walaupun bangunan sekolah yang digunakannya masih jauh dari memadai. Saat ini jumlah murid SD Plus Bina Nusa berjumlah 167 orang. Harapan Buyung saat ini adalah SD yang ia dirikan bisa memiliki lapangan dan juga perpustakaan sendiri.




 

Post a Comment

 
Top