0
IKHLASH DAN URGENSINYA

Yang pertama kali yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu supaya dia bersenjatakan diri dengannya dan menjadikannya di depan kedua matanya adalah ikhlash karena Allah semata dalam ucapan dan perbuatannya, karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan apapun kecuali amalan yang ikhlash untuk-Nya semata (yang tentunya amalan tersebut berdasarkan Al-Qur`an ataupun As-Sunnah). Allah berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah semata dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." [Al-Bayyinah:5]


Apabila seorang penuntut ilmu mengikhlashkan amalannya untuk Allah semata, maka dia akan mendapatkan pahala yang besar, akan diberkahi dalam usahanya dan akan menjadi orang yang berhak untuk mendapatkan kemuliaan yang telah Allah berikan kepada ilmu dan para ulama serta orang-orang yang menempuh jalan mereka.

Adapun apabila hilang keikhlashan pada seorang penuntut ilmu dan amalannya telah tercampuri dengan kotoran-kotoran riya` serta tujuannya dalam menuntut ilmu adalah untuk berbangga-bangga dengan yang lain, sum'ah (supaya amalannya didengar orang lain), mencari kedudukan dan kepemimpinan di tengah-tengah manusia, maka sesungguhnya ilmu ini akan menghujjat pemiliknya pada hari kiamat, dan di akhirat dia tidak akan mendapatkan bagian dan pahala sedikitpun. Allah berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

"Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia akan Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat." [Asy-Syuuraa:20]

Maka orang yang memaksudkan dengan amalannya untuk mendapatkan keuntungan duniawi, keridhaan manusia dan kedudukan yang tinggi di sisi mereka, hendaklah mereka ambil pahala atas amalannya tersebut kepada orang yang dia maksudkan dan yang dia tuju.

HADITS-HADITS TENTANG URGENSINYA IKHLASH

Sungguh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa diterimanya amal-amal yang shalih itu tergantung niat dan keikhlashannya dalam tujuan.

Al-Imam Al-Bukhariy dan Al-Imam Muslim telah meriwayatkan hadits dari 'Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu, di mana dia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya (yaitu ikhlash karena Allah dan dalam rangka mengikuti sunnah Rasul-Nya) maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya (yakni akan mendapatkan pahala di sisi Allah), dan barangsiapa hijrahnya karena dunia atau wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang dia tuju."

Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya manusia yang pertama kali akan diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang dipersaksikan mati syahid, maka orang itupun didatangkan lalu dikenalkan nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya maka diapun mengenal dan mengakuinya. Allah berkata: "Untuk apa kamu berperang?" Dia menjawab: "Aku berperang karena Engkau sampai aku mati syahid." Allah membantahnya: "Kamu dusta, akan tetapi kamu berperang agar dikatakan sebagai seorang yang pemberani." Maka dikatakan kepadanya dan diperintahkan kemudian ditelungkupkan di atas wajahnya lalu dimasukkan ke dalam neraka.

Dan seseorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya kepada yang lain serta membaca Al-Qur`an, maka orang inipun didatangkan lalu diperkenalkan nikmat-nikmat kepadanya maka diapun mengenal dan mengakuinya. Allah berkata kepadanya: "Untuk apa kamu melakukan semuanya ini?" Diapun menjawab: "Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur`an karena Engkau, Ya Allah." Allahpun membantahnya: "Kamu dusta, akan tetapi sebenarnya kamu mempelajari ilmu agar dikatakan sebagai orang yang berilmu dan kamu membaca Al-Qur`an agar dikatakan sebagai orang yang ahli membaca." Maka dikatakan kepadanya dan diperintahkan lalu dia ditelungkupkan di atas wajahnya sampai dilemparkan ke dalam neraka."

Al-Imam Abu Dawud dan lainnya meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barangsiapa mempelajari ilmu yang seharusnya dia mengharapkan Wajah Allah, akan tetapi dia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan satu bagian dari dunia, maka dia tidak akan mendapatkan baunya surga pada hari kiamat." (HR. Abu Dawud no.3664, Ibnu Majah 1/93, Al-Hakim 1/85 dan beliau menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabiy serta dishahihkan oleh An-Nawawiy di dalam Al-Majmuu' 1/23)

Sedangkan ilmu yang seharusnya dicari dalam rangka mengharap Wajah Allah adalah ilmu syar'i.

Diambil faidah dari hadits ini bahwasanya mempelajari ilmu syar'i tidak akan diterima oleh Allah kecuali disertai dengan keikhlashan.

Adapun ilmu duniawi yang bermacam-macam yang tidak bertentangan dengan syari'at, maka pada asalnya mempelajarinya itu merupakan jalan untuk mendapatkan pekerjaan dan rizki. Bersamaan dengan itu, apabila seorang muslim mempelajarinya dengan niat yang baik dan untuk melaksanakan fardhu kifaayah di tengah-tengah ummat dalam rangka menguatkan ummat Islam melawan musuh-musuhnya dan menjadikan ummat bangkit dengannya, maka dia akan mendapatkan pahala di sisi Allah.

ATSAR DARI SALAFUSH SHALIH TENTANG IKHLASH

Adapun atsar-atsar yang teriwayatkan dari para shahabat dan salafush shalih dalam permasalahan ikhlash maka sangat banyak, di antara yang paling menonjolnya adalah:

Dari 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, bahwasanya beliau berkata: "Wahai orang-orang yang membawa ilmu, beramallah kalian dengan ilmu tersebut, karena sesungguhnya yang dinamakan orang yang berilmu adalah orang yang beramal dengan ilmu yang telah diketahuinya dan ilmunya mencocoki amalnya. Dan akan datang kaum-kaum yang mereka membawa ilmu akan tetapi tidak mencapai tenggorokan mereka, ilmu mereka menyelisihi amalnya, bathin mereka berbeda dengan apa yang mereka tampakkan dan mereka duduk di suatu majelis ilmu dalam keadaan sebagian mereka membanggakan ilmunya dengan sebagian yang lainnya, sampai-sampai ada seseorang yang benar-benar marah kepada teman duduknya yang menghadiri majelis orang lain dan diapun akhirnya membiarkannya. Mereka itulah orang-orang yang amal-amalnya di dalam majelis tersebut tidak akan naik kepada Allah (tidak akan diterima oleh Allah)." (Al-Majmuu' 1/23-24)

Dari Sufyan Ats-Tsauriy bahwasanya beliau berkata: "Tidaklah seorang hamba bertambah ilmunya lalu bertambah pula kecintaannya kepada dunia kecuali dia akan semakin bertambah jauh dari Allah." (Al-Majmuu', 1/24)

Oleh karena itulah, para ulama penuh perhatian dalam membicarakan permasalahan ikhlash dan menekankan atasnya serta keharusan waspada dari riya` dan sum'ah terkhusus dalam permasalahan menuntut ilmu.

Al-Imam Abu Bakr Al-Ajurriy berkata ketika membicarakan tentang sifat seorang penuntut ilmu dan adab-adabnya: "Seorang penuntut ilmu hendaklah mengetahui bahwasanya Allah telah mewajibkan kepadanya agar beribadah kepadanya, dan ibadah tidak akan terbukti kecuali dengan ilmu, ... maka inilah yang menjadi tujuannya dalam usahanya menuntut ilmu (yaitu supaya bisa beribadah kepada Allah dengan sebaik-baiknya-pent), dalam keadaan dia yakin wajibnya ikhlash dalam usahanya, dia tidak melihat pada dirinya keutamaan dalam usahanya bahkan dia melihat bahwa keutamaan itu hanyalah milik Allah semata, karena jika dia meyakini demikian niscaya Allah akan memberikan taufiq kepadanya untuk tetap menuntut ilmu, yang dia akan bisa beribadah kepada Allah dengan ilmu tersebut, dengan melaksanakan apa-apa yang diwajibkan-Nya dan menjauhi apa-apa yang diharamkan-Nya." (Akhlaaqul 'Ulamaa`, hal.20 karya Al-Ajurriy)



Wallaahu A'lam, disadur dari Aadaabu Thaalibil 'Ilmi hal.27-31.

Post a Comment

 
Top