Jenjang Kesempurnaan Hidup dengan Keindahan Kemakmuran Bersahaja
الله اكبر 3× ولله الحمد
Saat fajar menyingsing naik di ufuk Timur, benang-benang putih di kaki langit seakan menyambut iring-iringan gema takbir, tahlil dan tahmid yang sedang berkumandang. Tertangkaplah suatu isyarat halus yang dipancarkan oleh cahaya fajar dari ufuk Timur seakan menghimbau kehidupan bersemesta untuk bangkit serempak mengusir kegelapan panjang yang lama membelenggu kehidupan bersemesta. Laksana seseorang yang tersentak dari lamunan panjang.
Demikianlah kehidupan bersemesta tergugah bangkit oleh adanya belaian lembut cahaya fajar dan sapaan merdu dari alunan gema takbir, tahlil dan tahmid. Sujud tersungkur jiwa semesta menyambut uluran kasih Ilaahi yang telah melepaskan ruh-ruh semesta dari belenggu kegelapan yang panjang. Ke-Agungan-Nya, ke-Esaan-Nya nyata terpapar dalam perbuatan-Nya yang disifati rasa kasih. Semakin dalam terserap dan terasa sifat rasa kasih yang telah diulurkan-Nya, tercetuslah dari dalam jiwa yang paling dalam ungkapan rasa syukur di balik sikap yang tersungkur sujud.
Namun tidak lanjut dari rasa syukur tidak hanya terbatas pada sikap diri yang tersungkur sujud, tetapi berkelanjutan pada sikap perbuatan yang didorong oleh kebulatan tekad untuk mewujudkan kebangkitan hidup terpadu. Nyatalah dalam kehidupan bersemesta, syukur yang diwujud-nyatakan adalah bersikap terus menerus hidup tumbuh-berkembang memberikan hasil yang bermanfaat-guna, meskipun berada dalam penekanan dan pemaksaan yang tidak henti-hentinya oleh tangan-tangan serakah yang hanya mencari keuntungan pribadi. Bagaimana rasa syukur tidak akan mendorong diri untuk mewujudkan pada sikap, sementara diri dari saat ke saat terus menerus didorong dan didesak-Nya agar jatuh ke dalam lautan ke-Maha-Besaran-Nya dan ke-Maha-Muliaan-Nya.
Sirna diri yang hina dalam lautan ke-Maha-Besaran-Nya dan ke-Maha-Muliaan-Nya. Sepintas kilas mata memandang akan tampak sebagai orang mendapat kedudukan termulia di sisi-Nya. Padahal kemuliaan yang terpandang itu adalah laksana orang yang mengenakan pakaian pada badannya. Di balik pakaian terdapat unsur-unsur yang sangat memalukan.
اِنَّ فِى خَلْقِ السَّموَاتِ وَاْلاَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآياَتِ لأُوْلِى اْلأَلْباَبِ
“Sesungguhnya dalam pernciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal cerdik,” (QS. Ali ‘Imran (3) : 190)
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلىَ جُنُوْبِهِمْ وَبَتَفَكَّرُوْنَ فِى خَلْقِ السَّموَاتِ وَاْلأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هذَا بطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan (bertafakkur) tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali ‘Imran (3) : 191)
Demikianlah itulah semesta khususnya tanaman, saat demi saat senantiasa memancarkan keindahan Asma Allah. Meskipun ada tangan-tangan serakah yang hendak menodai keindahan yang sedang dipancarkan oleh tanaman, bagi tanaman tidak dipedulikan. Di balik keindahan Asma Allah yang ditampilkan oleh tanaman sebenarnya sedang berlangsung proses lenyapnya tanaman. Bagi manusia yang melihat dengan mata kepala, keindahan yang sedang ditampilkan oleh alam akan terpandang sebagai keindahan alam itu sendiri.
Padahal di balik keindahan-keindahan yang dipancarkan oleh semesta khususnya tanaman, di sanalah terwujudnya aktivitas kebangkitan demi kebangkitan yang dilakukan oleh semesta, khususnya tanaman adalah setiap terjadi kelayuan dan kekeringan pada daun, lebih baik memilih mencampakkan semua kelayuan atau kekeringan yang tersandang. Meskipun sesaat tampak tidak ada keaktifan yang sedang dilangsungkan oleh tanaman, namun setelah kelayuan atau kekeringan daun berhasil digugurkan, barulah kemudian secara bertahap sang tanaman bangkit mengeluarkan daun-daun baru memberikan kesegaran dalam arti lebih muda.
Di balik proses alam, khususnya tanaman yang bersikap meninggalkan kehidupan tua layu dan kering, kemudian memproses diri mempersiapkan daun muda yang segar, merupakan suatu isyarat tajam yang diarahkan kepada manusia: “bahwasanya pola lama yang tidak bisa menghidupkan suatu kesegaran baru dalam suatu kehidupan, lebih baik dikorbankan dalam arti dibiarkan”. Proses selanjutnya mempersiapkan tunas-tunas baru untuk kebangkitan yang lebih segar. Hal demikian ini telah digambarkan Ibrahim A.S. dalam serentetan peristiwa. Pengorbanan Ismail A.S. sebenarnya terkandung maksud bahwa untuk mewujudkan kebangkitan ada di pundak pemuda-pemuda selaku tunas bangsa. Pemuda tidak asal pemuda (dalam arti hanya usianya saja yang terpandang muda).
Tetapi pemuda yang dimaksud adalah pemuda yang telah bersedia sejak usia dini membuang atau melepas habis seluruh sifat kebinatangan. Karena untuk mewujudkan suasana kebangkitan hidup terpadu harus bersih dari sifat kebinatangan. Sebagai bahan renungan untuk dijawab dalam diri masing-masing ialah bila seseorang sedang menabur benih dalam suatu ladang, kemudian benih itu tampak mulai bersemi, “dapatkah benih yang mulai bersemi itu tumbuh dengan baik sementara di dalam ladang masih banyak terdapat hewan pemakan daun, seperti kambing dan sapi?” sedangkan yang namanya hewan kambing dan sapi paling suka dengan tanaman yang baru saja mulai bersemi. Berarti agar benih tanaman dapat tumbuh dengan baik menciptakan suasana segar, hewan-hewan seperti kambing dan sapi harus dikorbankan dalam arti harus dikeluarkan dari kebun tersebut. Demikian itulah maksud dikorbankannya sifat kebinatangan pada jiwa seorang pemuda yang akan mengadakan kebangkitan hidup terpadu.
Dengan demikian terjawablah sudah, mengapa ‘Iedul Adha dikatakan sebagai hari raya besar bagi ummat Islam? Karena di dalam ‘Iedul Adha mengandung suatu himbauan khususnya terarah pada kaum pemuda untuk senantiasa mengadakan gerakan kebangkitan yang bersifat terpadu. Jika kebangkitan terpadu dapat terwujud dalam suatu kehidupan ummat manusia, maka itulah kemenangan muthlaq. Dengan kebangkitan akan membawa KEHIDUPAN MENUJU JENJANG KESEMPURNAAN HIDUP DENGAN KEINDAHAN KEMAKMURAN YANG BERSAHAJA. Gambaran kehidupan demikian ini sungguh menjadi harapan dan cita-cita bagi segenap kehidupan bersemesta yang ulet mempertahankan keindahan Asma Allah. Bagaimanakah pendangan orang-orang yang melihat dengan mata hati di balik keindahan yang sedang ditampilkan oleh alam? Sebenarnya alam itu sendiri tidak “ada”.
Adapun dia (alam) terpandang “ada” dengan bukti keindahan yang sedang ditampilkan, namun keberadaannya sedang berada di balik keindahan Asma Allah. Dengan adanya kenyataan justru alam terus menerus mengadakan gerakan kebangkitan hidup terpadu, tampak-tampaknya nilai-nilai pelajaran yang terkandung di dalam Al Qur’an banyak disikapi oleh alam. Sementara manusia yang dicipta dengan kesempurnaan potensi diri, justru dari saat ke saat hanya kerusakan demi kerusakan yang dilangsungkan.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِى عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Ruum (30) : 41)
Sudah demikian rupa sikap alam melestarikan kebangkitan hidup. tetapi masih juga menjadi korban kebodohan manusia berfikir. Dengan kenyataan banyak kehidupan bersemesta menjadi korban kebodohan berfikir manusia akan memberikan suatu kesan mendalam bahwa manusia berbuat tidak menggunakan perhitungan tepat berguna.
Bagaimana perhitungan tepat berguna dapat dilakukan jika rasa syukur tidak mewarnai setiap langkah perbuatan manusia ….. اِنَّ اْلاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ كَفَّارٌ Jika semesta mampu menyerap banyak akan keindahan Asma Allah seharusnya manusia selaku makhluq yang paling sempurna dicipta Allah akan lebih banyak menyerap sifat keindahan Asma Allah daripada kehidupan alam semesta, karena dirinya adalah selaku makhluq yang termulia di sisi Allah.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِى ءَادَمَ وَحَمَلْنهُمْ فِى اْلبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنهُمْ مِنَ الطَّيِّبتِ وَفَضَّلْنهُمْ عَلىَ كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلاً
“dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluq yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al Israa’ (17) : 70).
Jenjang Kesempurnaan Hidup dengan Keindahan Kemakmuran Bersahaja 2
Namun kenyataannya, saat demi saat manusia lebih suka menenggelamkan diri di lautan kebodohan dan kehinaan. Diri manusia sudahlah hina masih ditambah dengan tutupan pakaian hina. Digambarkan laksana seseorang kotor berpenyakitan berpakaian compang-camping hanya akan menambah buruknya penglihatan pada orang tersebut. Maka salah satu maksud di balik gema takbir, tahlil dan tahmid yang terus berkumandang di hari tasyrik merupakan isyarat himbauan kepada manusia khususnya himbauan kepada kaum pemuda untuk bersegera bangkit melepaskan atau mengorbankan pakaian keburukan dan kebodohan yang cukup lama tersandang-lekat pada diri. Kemudian berganti dengan pakaian keindahan dan kecerdikan. Di dalam Al Qur’an telah dinyatakan: “seindah-indah pakaian adalah pakaian taqwa”. Salah satu ciri khas pakaian taqwa adalah berhiaskan keindahan dan kecerdikan. Belum bisa seseorang dikatakan berpakaian taqwa jika keindahan dan kecerdikan belum tampak pada sikap dirinya. Bagi manusia yang dirinya tenggelam di lautan ke-Maha-Besaran Allah dan ke-Maha-Muliaan Allah itulah mereka yang banyak menyerap sifat indah Asma Allah.
Semakin dalam rasa kasih Ilaahi terserap jauh hingga mencapai relung-relung hati paling dalam, semakin banyak pula rangkaian pengertian indah berhikmah seperti: “semesta yang telah Ia Allah rentangkan dalam kesempurnaan yang nyata adalah untuk membawa tingkat kehidupan pada jenjang kesempurnaan martabat”.
لَتَرْكَبُنَّ طَبَقاً عَنْ طَبَقٍ
“sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).” (QS. Al Insyiqaaq (84) : 19 )
Sebagaimana sifat Asma-Nya selaku Rabb Yang Maha Sempurna, yang berarti dari saat ke saat suasana kebangkitan terpadu harus diciptakan oleh manusia. Bukan sebaliknya suasana kerusakan demi kerusakan yang akhirnya menjurus pada kehancuran. Dalam hal ini manusialah yang telah ditetapkan selaku makhluq yang mampu menciptakan suasana kebangkitan terpadu dari saat ke saat sampai dapat diraih jenjang kesempurnaan hidup. pertanyaan: “mengapa suasana kebangkitan terpadu dipercayakan kepada manusia?” karena manusialah selaku makhluq yang dicipta dengan potensi diri utuh dalam kesempurnaan. Dengan adanya potensi diri utuh dalam kesempurnaan itulah yang akan dijadikan sebagi modal penunjang terciptanya suasana kebangkitan hidup terpadu. Sedangkan selaku makhluq yang memiliki sifat perusak dan suka membawa kehidupan pada jenjang kebodohan dan kehinaan, khususnya dalam hal memperdaya manusia, agar perbuatan senantiasa menjurus pada kerusakan dan kehancuran adalah Iblis. Ini bukan berarti keberadaan Iblis di tengah-tengah perbuatan manusia adalah untuk menyaingi manusia atau untuk memperdaya manusia. Tetapi justru untuk memperlihatkan kepada Iblis bahwa manusia itu tetap dalam posisi terunggul. Untuk membuktikan bahwa manusia berposisi terunggul adalah dari hasil perbuatannya yang dari saat ke saat senantiasa menciptakan suasana kebangkitan hidup terpadu.
Untuk mewujudkan kebangkitan hidup bersifat terpadu Allah telah menurunkan petunjuk-petunjuk-Nya melalui Al Qur’an dan Al Hadits. Hanya saja untuk menyerap petunjuk-petunjuk yang ada di dalam Al Qur’an dan Al Hadits memang memerlukan kehalusan rasa dan mata hati yang terbuka. Hendaknya disadari, petunjuk paling berbobot bersifat keilmuan murni terdapat di balik pengertian yang tersurat. Sedangkan salah satu modal untuk menciptakan suasana kebangkitan hidup terpadu adalah keilmuan murni. Jika kehalusan rasa dan mata hati yang terbuka tidak dimiliki oleh seseorang, akan sulit baginya untuk menangkap pengertian yang ada di balik suratan Al Qur’an. Laksana akar tanaman yang mengalami kesulitan saat menyerap sari pati tanah yang dalam keadaan keras dan kering. Sebaliknya bila kehalusan rasa manusia dan mata hati terbuka dapat menyingkap pengertian di balik yang tersurat, maka wujud petunjuk yang diberikan langsung ke dalam hati sebagaimana yang tersirat dalam firman-Nya: “sesungguhnya Kami Allah akan menurunkan petunjuk ke dalam hati manusia”, sifatnya adalah Ilhamis.
مَا اَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ اِلاَّ بِاِذْنِ اللهِ وَمَنْ يُّؤْمِنْ بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَه وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan idzin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At Taghaabun (64) : 11)
Dengan demikian keberadaan Al Qur’an dan Al Hadits adalah laksana sumur banyak mengandung mata-air mata-air. Semakin sering sumur ditimba, semakin jernih air yang diambil. Berarti dalam hal ini keberadaan Al Qur’an dan Al Hadits diibaratkan laksana alat pancing bagi hati untuk mendapatkan petunjuk langsung dari Allah. Sudah barang tentu bila setiap langkah perbuatan manusia disetir oleh petunjuk yang langsung masuk ke dalam hati, tidak akan pernah ada kehidupan di muka bumi ini dalam belenggu kegelapan dan kebodohan.
Tetapi fakta di tengah-tengah kehidupan manusia khususnya masyarakat Islam, keberadaan Al Qur’an dan Al Hadits tidak berhasil menjadikan hati manusia sebagai wadah tempat menerima langsung petunjuk dari Allah. Tampak-tampaknya Al Qur’an dan Al Hadits di dalam kehidupan khususnya ummat Islam hanya menjadi alat pengakuan diri. Sedang sikap prilaku ummat Islam sangat jauh dari yang digambarkan Al Qur’an. Berarti keberadaan Al Qur’an hanya diabaikan.
وَقَالَ الرَّسُوْلُ يَارَبِّ اِنَّ قَوْمِى اتَّخَذُوْا هذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوْرًا
Berkatalah Rasul: “Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al Qur’an ini sesuatu yang tidak diacuhkan.” (QS. Al Furqaan (25) : 30)
Bukti pengabaian terhadap Al Qur’an adalah sangat sedikit ummat Islam yang dapat menimba kandungan makna ayat Al Qur’an, khususnya yang bersifat keilmuan murni masih sangat langka sekali dalam kehidupan ummat Islam. Dengan tidak terlahir keilmuan murni dalam kehidupan ummat Islam menunjukkan bahwa manusia khususnya ummat Islam belum terbebaskan dari kegelapan dan kebodohan buta. Bagaimanapun hebatnya perwujudan ilmu bila tidak bersandarkan pada keilmuan murni bersifat Qur’ani, tetap saja akan terpandang sebagai keilmuan bodoh-membuta. Dikatakan keilmuan bodoh-membuta karena keilmuan diperoleh dengan cara meniru sebagaimana si burung beo menirukan percakapan manusia. Baru dikatakan keilmuan itu tidak bodoh-membuta, bila tidak bersikap meniru-niru apa yang sudah ada. Nyatalah sudah antara manusia khususnya ummat Islam dengan Al Qur’an sudah terjadi jurang pemisah yang sangat jauh dari contoh pelaksanaan yang dilakukan Rasulullah Muhammad S.A.W. Tampak-tampaknya dalam kehidupan ini yang harus diperangi adalah kebodohan-membuta, sedangkan untuk memerangi kebodohan membutuhkan suatu pengorbanan.
Pertanyaan lebih lanjut, “mengapa kebangkitan merupakan salah satu titik perhatian dalam kehidupan?” Karena Allah paling tidak menyukai terhadap hal-hal yang mengarah pada kerusakan والله لا يحب المفسدين …(…dan Allah tidak menykai orang-orang yang membuat kerusakan (QS. Al Maidah (5) : 64). Bila dalam kehidupan ini yang terjadi hanya kerusakan demi kerusakan, berarti jutaan manusia hanya terpuruk dalam lembah kebodohan dan kegelapan. Masih pula ditambah oleh belenggu rantai besi keburukan akhlaq. Padahal datangnya Islam di tengah-tengah kehidupan manusia adalah untuk mengentaskan kehidupan manusia dari kebodohan dan kegelapan. Sebab jika manusia dibiarkan dalam lembah kebodohan dan kegelapan sama halnya manusia disejajarkan kedudukannya dengan Iblis. Padahal sejak awal penciptaan manusia, Allah telah memisahkan kehidupan Iblis dengan kehidupan manusia sejauh-jauhnya. Dengan pemisahan tersebut diharapkan agar manusia dapat beraktivitas mewujudkan kebangkitan hidup terpadu. Adapun selama melangsungkan aktivitas, Iblis masih juga berupaya untuk mengganggu. Allah pun telah memberikan jalan keluar yakni datanglah mengadu kepada Allah untuk memperoleh perlindungan.
وَقُلْ رَبِّ اَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيطِيْنِ
“Dan katakahlah, “Ya Rabbku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaithaan.” (QS. Al Mu’minuun (23) : 97)
وَاَعُوْذُ بِكَ رَبِّ اَنْ يَحْضُرُوْنَ
“Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Rabbku, dari kedatangan mereka (syaithaan) kepadaku.” (QS. Al Mu’minuun ( 23) : 98)
Jenjang Kesempurnaan Hidup dengan Keindahan Kemakmuran Bersahaja 3
Tetapi kebanyakan sifat manusia lebih suka mencari perlindungan kepada sesama makhluq. Bila diperhatikan dengan seksama pada peristiwa Ibrahim A.S. hendak menyembelih Ismail A.S. yang kemudian Ismail A.S. diganti dengan seekor qibas, merupakan gambaran nyata bahwa kegelapan dan kebodohan buta yang ada dikorbankan dalam arti dibuang jauh dari dalam diri. Kegelapan dan kebodohan buta itu disimbolkan dengan seekor binatang yang dikorbankan sebagai ganti dari Ismail A.S. Memang binatanglah dalam hal ini yang mempunyai sifat bodoh karena tidak dilengkapi oleh potensi diri berupa aqal.
Berarti yang membedakan manusia dengan binatang terletak pada aqal. Kapan aqal manusia tidak bisa berfungsi, maka gerak aktivitas yang dilakukan sama dengan binatang. Gambaran manusia yang meletakkan diri sama dengan binatang dalam firman Allah pun telah diisyaratkan bahkan telah dinyatakan, “serendah-rendah manusia adalah manusia yang tidak menggunakan aqal, karena derajat dirinya berada di bawah derajat binatang melata”.
اِنَّ شَرَّ الدَّوَآبِ عِنْدَ اللهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِيْنَ لاَ يَعْقِلُوْنَ
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak menggunakan aqal.” (QS. Al Anfaal (8) : 22)
Sebenarnya bila dipandang dari segi kebijakan, bukanlah binatang yang harus dikorbankan pada setiap peristiwa ‘Iedul Adha. Tetapi Allah sangat menghargai manusia (selaku makhuq yang dicipta dalam keadaan) paling mulia, maka hewanlah yang dikorbankan. Adapun maksud Allah, hewan yang dikorbankan sebagai ganti diri manusia, hendaknya manusia dapat mengambil suatu pelajaran. Sebab hewan yang dikorbankan itu tidak pernah berbuat dosa kepada manusia. Justru sebaliknya banyak sekali memberi manfaat untuk kehidupan manusia.
Tetapi, pakaian utama bagi binatang adalah kebodohan yang tidak menggunakan aqal, dan aqal itu sendiri yang tidak ada pada binatang. Maka kebodohan itulah yang dikorbankan atau dibunuh oleh pisau-pisau bermata tajam. Dimaksudkan “pisau-pisau bermata tajam”, agar membunuh kebodohan tidak dengan setengah-setengah, harus dibunuh dengan sungguh-sungguh sampai ke akar-akarnya. Bila diperhatikan, sudah jutaan jumlah manusia dari saat ke saat melestarikan budaya menyembelih hewan qurban. Pertanyaan, “sudahkah berhasil manusia membebaskan kehidupan ini dari belenggu kegelapan dan kebodohan?”
اِنَّا عَرَضْناَ اْلاَمَانَةَ عَلىَ السَّموَاتِ وَاْلاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَحْمِلْنَهاَ وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا اْلاِنْسَانُ اِنَّه كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلاً
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh,” (QS. Al Ahzaab (33) : 72)
Kegelapan dan kebodohan selamanya akan tetap membelenggu kehidupan semesta khususnya manusia bila kemurnian tauhid tidak berhasil ditegakkan dalam sikap hidup keseharian. Sebenarnya pada serentetan peristiwa Nabi Ibrahim A.S. yang kini dijadikan syariah ibadah haji sudah terangkai dengan jelas urutan-urutan pelaksanaan terhadap gerakan kebangkitan khususnya kebangkitan membebaskan kehidupan manusia dari belenggu kegelapan dan kebodohan-membuta.
Untuk mewujudkan kebangkitan bukan kebodohan-membuta yang mula pertama harus disembelih, tetapi yang harus mewujud adalah menjadikan diri hidup bertauhid murni dalam keseharian. Gambaran kemurnian tauhid dijelaskan pada peristiwa Ibrahim A.S. ketika meninggalkan istri dan anaknya di tengah-tengah gurun pasir yang tidak berkehidupan. Pasir kering kerontang di bawah sengatan matahari, di sanalah Hajar dan Ismail A.S. ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim A.S. Sikap yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim A.S., bukanlah sikap ketidakpedualian atau sikap tidak mau tahu. Justru sikap demikian itulah tampak bagaimana Nabi Ibrahim A.S. mendidik jiwa istri dan anak agar tidak bergantung hidup pada suami, meskipun suami mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap pertumbuhan rohani anak dan istri.
Nabi Ibrahim A.S. bermaksud dengan sikap meninggalkan anak dan istri di tengah-tengah padang pasir yang tidak berkehidupan, diharapkannya agar anak dan istri bisa hidup di bawah payung ketauhidan murni. Dengan ketauhidan murni tumbuhlah suatu pengertian bahwa hidup terbelenggu kegelapan dan kebodohan-membuta tidaklah tepat. Sehingga muncul kebulatan tekad untuk memotong rantai-rantai kebodohan-membuta yang telah lama membelenggunya.
Bukan saja rantai-rantai kegelapan dan kebodohan-membuta yang dapat dipotong oleh pisau-pisau tajam bertauhid murni, tetapi hal yang lebih penting lagi dari perwujudan hidup bertauhid murni adalah lahirnya suatu keilmuan murni sebagai modal untuk pergerakan kebangkitan hidup terpadu. Dan sudah dibuktikan secara simbolis bahwa keilmuan murni mencuat dan lahir oleh ketauhidan murni akan menciptakan kebangkitan hidup bersemesta. Simbol dari keilmuan murni yang dilahirkan dari ketauhidan murni tampak pada peristiwa Hajar dan Ismail A.S. yang berhasil menemukan “mata air”. Sifat mata air yang telah ditemukan Hajar dan Ismail A.S. bersifat kekal dalam arti tidak mudah musnah dimakan masa. Bahkan dengan mata air yang telah ditemukan oleh Hajar dan Ismail A.S. muncul kebangkitan hidup terpadu sifatnya bersemesta. Simbol dari kebangkitan hidup terpadu yang dicuatkan oleh Hajar dan Ismail A.S. adalah sekitar daerah gurun pasir yang semula kering kerontang tanpa ada satupun kehidupan. Kini dengan cuatan mata air zam-zam menjadikan daerah tersebut hidup makmur tanpa satu pun bangsa yang dapat menjajahnya. Dengan demikian sifat keilmuan murni yang dilahirkan dari ketauhidan murni juga bersifat berkekalan dalam arti tidak mudah habis digali. Dalam kenyataan, kebangkitan terpadu sulit diwujudkan, itu pertanda tidak adanya ketauhidan murni dalam sikap hidup sehari-hari. Bagaimana kebangkitan terpadu dapat diwujudkan, jika modal keilmuan murni tidak diperoleh, padahal untuk memperoleh keilmuan murni dasarnya tentu bertauhid murni.
‘Iedul Adha yang tiap tahun datang dalam kehidupan manusia tidak lain bertujuan membawa manusia untuk hidup bertauhid murni, yang melahirkan keilmuan murni. Sehingga muncul suatu kebangkitan terpadu, terpaparlah kehidupan makmur yang bersahaja. Semoga apa yang telah digambarkan atau dihimbaukan ‘Iedul Adha kiranya dapat memacu diri kita untuk mencuatkan suatu kebangkitan. Sehingga kehidupan layu yang lama membelenggu dan hampir menghantarkan kehidupan pada kehancuran, (karena kesulitan demi kesulitan terus menimpa kehidupan ini), dengan modal bertauhid murni kita songsong kebangkitan hidup terpadu. Berarti lepas pula dari kesulitan-kesulitan yang kian menghimpit dengan modal bertauhid murni dan berkeilmuan murni. Jika tauhid murni dan keilmuan murni tidak dapat diwujudkan, maka harapan untuk menyongsong kebangkitan dan melepaskan kehidupan dari kesulitan hanya tinggal khayalan. Harapan tidak lain tertuju kepada kalian wahai pemuda, di punggungmulah segala harapan akan adanya kebangkitan terpadu bersemesta dan kemakmuran bersahaja. Tegakkanlah panji-panji ketauhidan murni. Bunuh habislah selimut kegelapan dan kebodohan-membuta yang ada pada sifat kebinatangan.
Penulis : Alkaf Mabruri
Post a Comment